HaloGita S, kakak coba bantu jawab ya :) Bakteri dapat hidup di berbagai lingkungan karena memiliki kapsul sebagai pelindung dari kondisi lingkungan yang ekstrem, menjaga sel bakteri tidak kekeringan, dan pada bakteri penyebab penyakit berfungsi sebagai pelindung dari pengaruh sistem kekebalan yang dihasilkan sel tubuh inang.
Lingkungan-binaan âbuilt-environmentâ adalah sebutan/istilah untuk kondisi suatu area atau daerah yang telah ada sekelompok manusia yang tinggal dengan membangun tempat tinggal berupa sosok bangunan/gedung dan infrastruktur pelengkapnya, sekalipun sederhana. Sementara pemahaman mengenai desain âdesignâ, terkait erat dengan faktor perencanaan âplanningâ sebagai tahap yang mendahuluinya dalam satu kesatuan proses pengembangan âdevelopmentâ. Oleh karena itu, pengertian desain lingkungan-binaan meliputi berbagai sektor pembangunan yang didominasi pada perkara rancang-bangun pada aspek fisik-spasial, walaupun eksistensi ragam artefak fisik itu tetap akan dipengaruhi oleh adanya kebijaksanaan, kesepakatan publik âconsensusâ, perilaku dan kebiasaan hidup manusianya. Secara umum lingkungan binaan tersebut mewujud fisik berupa sebidang tapak rumah, atau sekumpulan tapak rumah, area pedesaan, dan area perkotaan; yang secara spasial/keruangan dapat berupa ruang-terbuka âopen-spaceâ dan ruang tertutup bangunan/gedung âbuilt-up area / building coverageâ. Ruang Terbuka secara desainatif âdesignativeâ merupakan rekayasa perpaduan antara faktor natural dan faktor buatan-manusia, dapat berupa ruang jalan dengan ragam bentuk persimpangannya, sungai, kolam, telaga, pertamanan, halaman-rumah/gedung, lapangan, alun-alun, dsb. Sementara Ruang Tertutup merupakan sosok rekayasa teknologis, dapat berupa sosok Rumah-rumah dengan keragaman tipe masing-masing, dan Gedung-gedung dengan keragaman tampilan dan fungsi masing-masing. Selain perkara sejumlah landasan legalitas, proses desain lingkungan-binaan saat in, secara âuniversalâ ada yang harus dipertimbangkan secara serius sebagai aspek sekaligus fakta utama dalam era abad XXI ini, âmumpungâ masih berada di awal abad ini, yaitu perkara keberlangsungan ekosistem atau âsustainabilityâ . Terkait dengan prinsip âkeberlanjutan ekosistemâ ini, tokoh âsustainismâ Schwarz menyampaikan begini ââŠDesigners and architects have been among the first to see the fundamental shifts we associate with sustainism â for example, how perceptions of place have changed. The internet in particular has given a new meaning to the local almost every place in the world is globally connected, 24/7. We live in local worlds, but we are also global citizensâŠ.â Tentu bila disimak, ketetapan substansial yang tersurat maupun tersirat pada serangkaian peraturan-perundangan di negeri ini sudah secara sengaja memasukkan perkara keberlanjutan ekosistem itu, akan tetapi seringkali pada aplikasi di lapangan tidak diterapkan atau pengawasan kurang ditegakkan. Apabila seluruh warga negara negeri ini patuh terhadap ketentuan tersebut, sebagai bagian kecil dari warga dunia tentu dapat secara pro-aktif menjaga kelestarian alam semesta. Jadi benar sungguh, apa yang disampaikan Schwarz menjadi teguran keras bagi para desainer, arsitek dan perencana-perkotaan, agar mengecek kembali dokumen perencanaan maupun desainnya dapat menjamin keberlangsungan - uploaded by Fxbudi PangarsoAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Fxbudi PangarsoContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1/16 Desain Lingkungan-binaan âbuilt-environmentâ di Indonesia dalam menghadapi fenomena perkembangan teknologi di awal abad XXI Ir. Pangarso, MSP., IAP. Lektor Kepala Associate Professor pada bidang Arsitektur Kota Ahli Utama Perencana Kota Sertifikat Keahlian no. 2014-2017 Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan Anastasia Anindyasarathi sP, ST. âProject Architectâ pada Konsultan Larascipta. INTRODUKSI Lingkungan-binaan âbuilt-environmentâ1 adalah sebutan/istilah untuk kondisi suatu area atau daerah yang telah ada sekelompok manusia yang tinggal dengan membangun tempat tinggal berupa sosok bangunan/gedung dan infrastruktur pelengkapnya, sekalipun sederhana. Sementara pemahaman mengenai desain âdesignâ, terkait erat dengan faktor perencanaan âplanningâ sebagai tahap yang mendahuluinya dalam satu kesatuan proses pengembangan âdevelopmentâ. Oleh karena itu, pengertian desain lingkungan-binaan meliputi berbagai sektor pembangunan yang didominasi pada perkara rancang-bangun pada aspek fisik-spasial, walaupun eksistensi ragam artefak fisik itu tetap akan dipengaruhi oleh adanya kebijaksanaan, kesepakatan publik âconsensusâ, perilaku dan kebiasaan hidup manusianya. Secara umum lingkungan binaan tersebut mewujud fisik berupa sebidang tapak rumah, atau sekumpulan tapak rumah, area pedesaan, dan area perkotaan; yang secara spasial/keruangan dapat berupa ruang-terbuka âopen-spaceâ dan ruang tertutup bangunan/gedung âbuilt-up area / building coverageâ. Ruang Terbuka secara desainatif âdesignativeâ2 merupakan rekayasa perpaduan antara faktor natural dan faktor buatan-manusia, dapat berupa ruang jalan dengan ragam bentuk persimpangannya, sungai, kolam, telaga, pertamanan, halaman-rumah/gedung, lapangan, alun-alun, dsb. Sementara Ruang Tertutup merupakan sosok rekayasa teknologis, dapat berupa sosok Rumah-rumah dengan keragaman tipe masing-masing, dan Gedung-gedung dengan keragaman tampilan dan fungsi masing-masing. Apabila ditengok ke belakang pada jaman pra kemerdekaan, di kepulauan Nusantara ini telah ada fakta desain lingkungan-binaan, yang mulai ditata sekitar tahun 1293 Masehi, yaitu saat Baginda âSri Kertaradjasa Djajawardhanaâ Raden Widjaja pendiri Kerajaan Majapahit membuka hutan Terik, tepatnya di area situs kota Trowulan saat Desain lingkungan tersebut tampil dalam sejumlah obyek, yaitu Kanal, Waduk, Kolam, Sumur, Candi, dan Gapura. 1 all the structures people have built when considered as separate from the natural environment. term built environment is used when referring to those surroundings created for humans, by humans, and to be used for human activity. Examples would include cities, buildings, urban spaces, walkways, roads, parks, etc. The study of the built environment is interdisciplinary in nature and can include such disciplines as visual arts, architecture, engineering, urban planning, history, interior design, industrial design, geography, environmental studies, anthropology / sociology. an area where there are a lot of buildings. The city took on the challenge to raise the quality of the built environment. the need for harmony between the built environment and the natural world 2 Definition of designative in English adjective, Serving to indicate or specify something the designative meaning is very obvious 3 Majalah GATRA, 27 Maret 1999, memberitakan hasil penelitian desertasi Hermanislamet, dosen Teknik Arsitektur, UGM, 1999. Gambar â 1 Peta area kota Trowulan 2/16 Gambar â 2 Kolam Segaran Trowulan Luas kolam Pool area 375 m x 175 m Ketebalan dinding Wall thickness 1,6 m Kolam Segaran merupakan waduk penyimpanan air pada masa Majapahit. Sebenarnya, kolam ini memiliki banyak fungsi. Fungsi lainnya adalah untuk tempat menjamu tamu dan pendingin suhu udara. Nama Segaran diambil dari kata âSegaraâ yang berarti laut dalam bahasa Jawa karena ukurannya yang besar bagaikan laut. Kolam ini ditemukan oleh Henry Maclain Pont dan Kromodjojo Adinegoro pada tahun 1926 dan telah dipugar sebanyak 3 kali. Kolam ini terletak di seberang Museum Majapahit dan sekarang hanya digunakan untuk tempat rekreasi dan tempat upacara. Sumber google map & Kilas historis desain lingkungan-binaan di kota Trowulan pada akhir abad XIII atau awal abad XIV tersebut di atas, dapat disimak bahwa saat itu telah dikenali adanya pola perencanaan lingkungan terpadu âintegrated planningâ, yang mempertimbangkan secara proporsional antara aspek fisik dan natural. Penelitian diatas telah menunjukkan bahwa pola perencanaan tata-ruang perkotaan di Trowulan terpilah menjadi dua bagian, yaitu pola segi-empat âgridâ untuk bagian Pusat Kota yang berbasis pada budaya Kerajaan Pemerintahan, Pengelola Wilayah dan secara luwes semakin kepinggiran kota berpola âsirkuler-organisâ. Disamping penataan kotanya, maka tata bentuk arsitektur bangunan/gedung kerajaan dan kelengkapannya di pusat-kota didominasi bentuk geometrik, yang bercitra anggun, berwibawa dan semakin menjauhi pusat-kota didominasi tata bentuk arsitektur organik yang sangat âramahâ pada lingkungan natural. Komposisi komponen pusat-kotanya, sebagaimana kota yang memiliki budaya âmonarkhikalâ4, yaitu adanya kompleks Karaton, Alun-alun Ruang Terbuka Publik, Sarana Peribadatan dan Pasar. Kondisi lingkungan seperti ini tentu harus dipahami sesuai situasi pada abad XIV, karena luas area perkotaannya hanya sekitar 80 km2 saja. Perkara tersebut adalah inspirasi awal mengenai prinsip dasar desain lingkungan-binaan dan model aktual aplikasinya pada 6 enam abad yang lalu, saat teknologi masih sederhana, jumlah penduduk masih relatif sedikit, dan kondisi masih didominasi faktor alami/natural. 4 Full Definition of monarchical of, relating to, suggestive of, or characteristic of a monarch or monarchy; monarchical authority; a monarchical government A monarchy is a country that is ruled by a monarch, and monarchy is this system or form of government.; A monarch, such as a king or queen, rules a kingdom or empire. In aconstitutional monarchy, the monarch's power is limited by a constitution. But in an absolute monarchy, the monarch has unlimited power. Monarchy is an old form of government, and the word has been around a long time. It derives from Greek monarkhiÄ, frommonarkhos "monarch." 3/16 PRINSIP DASAR DESAIN LINGKUNGAN-BINAAN Sesungguhnya desain lingkungan-binaan itu merupakan tahap kedua setelah dilakukan tahap perencanaan âplanningâ yang memuat serangkaian perkara, yaitu maksud, tujuan serta sasaran; identifikasi ragam potensi dan sumber-daya yang ada; kesesuaian teknologi, material dan pola manajemen pelaksanaan maupun pemeliharaannya. Tahap perencanaan tersebut adalah seperti yang dinyatakan oleh dalam bukunya Site Planning bahwa, âSite Planning is the art of arranging structures on the land and shaping the spaces between, an art linked to architecture, engineering, landscape architecture, and city planning. Its aim is moral and esthetic; to make places which enhance everyday life â which liberate their inhabitans and give them a sense of the world they live inâ. Sementara Prof. Tom dalam buku yang di editnya âThe Built Environment, A Collaborative inquiry into Design and Planningâ, secara sistematik mendefinisikan, bahwa ââŠthe built environment define by four interrelated characteristics, First, it is everything humanly created, modified, or constructed, humanly made, arranged, or maintained. Second, it is creation of human minds and the result of human purposes; it is intended to serve human needs, wants, and values. Third, much of it is created to help us deal with, and to protect us from, the overall environment, to mediate or change this environment for our comfort and well being. Last, that every component of the built environment is define and shaped by context; each and all of the individual elements contribute neither positively or negatively to the overall quality of environments and to human-environment relationships.â Apabila disimak dengan cermat dan mendalam atas kedua rumusan yang menjadikan dasar bagi desain lingkungan-binaan, dapat diunduh intisarinya bahwa keseimbangan antara tiga aspek lingkungan ini yaitu alam-natural, kehidupan budaya kultur manusia, dan kreasi buatan manusia, layak dan harus di jadikan tujuan utamanya. Problematiknya adalah bagaimana prinsip keseimbangan tersebut dapat direalisasikan, di kepulauan Nusantara ini, yang ditandai dengan iklim tropis, bermusim penghujan dan kemarau, serta beragam budaya lokal sebagai potensi dasarnya. Dengan demikian, contoh pola penataan lingkungan-binaan di wilayah kota Trowulan diatas, telah mengekspresikan profesionalitas desain khas alam tropis, saat pengaruh eksternal belum terlalu mempengaruhi pola pikir dan tindak berkebudayaan. Fakta perencanaan dan desain yang berdisiplin menerapkan prinsip keseimbangan ketiga aspek tersebut diatas, dan sampai saat ini masih dijalin dalam pemeliharan lingkungan alam dan kultur kehidupannya antara lain adalah area Kampung Naga7 di Tasikmalaya, Jawa Barat; dan area desa adat Penglipuran8, Bangli, Bali. 5 Kevin Lynch & Gary Hack, Site Planning, 3rd The MIT Press, Cambridge, Massachusetts & London, England. 6 Wendy and Tom The Built Environment, A Collaborative inquiry into Design and Planning, 2007, John Willey & Sons, Hoboken, New Jersey. 7 Mengunjungi dan Mempelajari Budaya Kampung Naga. Kampung Naga ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kab. Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Yang unik letak kampung ini yang berada di lembah. Tidak hanya itu Kampung Naga ini ternyata masih mempertahankan kearifan lokal dan budaya yang mereka jaga sejak dahulu. Uniknya adalah tata letak rumah dan arsitektur yang khas, sesaat sebelum masuk kampung kita harus melapor terlebih dahulu dan di sini tidak ada plang Desa Wisata. Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor". Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah Kampung Naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal-usul kampungnya. 8 Desa Penglipuran, Desa adat bali yang sangat kental dengan kerukunan dan kebersamaan mereka. Desa ini berlokasi di kelurahan kubu, kecamatan bangli, kabupaten bangli- Bali. Desa ini telah dianugrahi penghargaan kalpataru oleh pemerintah kabupaten bangli pada tahun 1995. Menurut masyarakat sekitar, kata penglipuran diambil dari kata Pengeling Pura yang memiliki makna tempat suci yang ditujukan untuk mengenang para leluhur. Membahas tentang leluhur, ternyata masyarakat yang tinggal di desa ini sangat menjun-jung tinggi amanat dari para leluhur mereka. Terbukti dari terbentuknya desa penglipuran yang sangat mengutamakan kerukunan ini. Ciri khas yang sangat menonjol dari desa ini adalah arsitektur bangunan tradisional di desa ini rata-rata memiliki arsitektur yang sama persis dari ujung desa ke ujung lainnya. 4/16 , Salawu, Tasikmalaya, JaKampung Naga ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Yang unik letak kampung ini yang berada di lembah. Kampung Naga ini ternyata masih mempertahankan kearifan lokal dan budaya yang mereka jaga sejak dahulu. Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari, di sini masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. - Bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga berbentuk segitiga semuanya beratap ijuk, dan menghadap ke arah kiblat, terdapat kurang lebih 113 bangunan dalam area 1,5 ha yang terdiri dari 110 rumah warga dan 1 tempat ibadah, selain itu juga terdapat balai pertemuan dan lumbung padi Leuit dan Bumi Ageung yang kesemua bahan bangunannya menggunakan bilik-bilik, kayu-kayu, dan lain-lain. Tidak menggunakan semen atau pasir. Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan bangunan semuanya sama hal ini menunjukkan adanya keseimbangan dan keselarasan yang ada di daerah tersebut. Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap ke utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah barat-timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung gedong. Sumber Dari contoh fakta pertama ini dapat disimak, bahwa inilah sesungguhnya penerapan prinsip dasar Desain Lingkungan-binaan yang patuh/disiplin dalam mengamalkan keseimbangan antara potensi alami/natural tanah, air dan vegetasi, potensi manusia dan aktivitasnya dalam bingkai pola berkebudayaan, serta potensi kreasi buatan manusia rumah dan infrastrukturnya. Eksistensi teknologi yang saat ini semakin berkembang, telah tidak menggoyahkan kultur kehidupannya dalam menata dan mendesain lingkungan-binaannya. Kampung Naga, menjadi sebuah artefak fisik dan sosial-budaya yang âfenomenalâ sepanjang waktu, yang akan selalu mengingatkan kepada semua manusia penghuni jagad-raya ini, atas perlunya keseimbangan tiga perkara aspek desain lingkungan-binaan. Kelestarian lingkungan-binaan tersebut membutuhkan keteguhan sikap manusianya atas kemajuan cara berpikir dan bertindak, yang tidak cepat tergiur dengan tawaran kenikmatan ragawi. Upaya memelihara lingkungan-binaannya ternyata dikendalikan oleh pola pikir, bahwa manusia merupakan bagian kecil yang harus cerdas berkesinambungan dengan alam sekitarnya. 5/16 Gambar â 4 Desa Adat Penglipuran, Bangli, Bali. Desa adat Penglipuran terletak di Kelurahan Kubu di Kecamatan Bangli, Kabupaten Dati II Bangli. Luas desa adat Penglipuran +/- 112 ha. Desa Adat Penglipuran terletak di kaki Gunung Batur pada ketinggian 700 meter dpl. Desa Adat Penglipuran terletak +/- 5 Km dari pusat kota Bangli, dan 45 Km dari pusat kota Denpasar. Pengembangan fisik desa dan pengembangan budayanya masih mengacu pada tanah leluhur yang masih ada di Bayung. Tata ruang desa berkonsep trimandala, dibagi ke dalam tiga ruang yang berbeda secara fungsi dan tingkat kesucian, yaitu utama, madya dan nista. Letak ketiga ruang ini membujur dari utara gunung ke selatan laut. Paling utara zona utama, berdiri bangunan suci pura bernama Penataran tempat beribadah penduduk desa. Zona madya atau âruang manusiaâ terdapat 76 kaveling pekarangan dan rumah tempat bermukim warga terbagi ke dalam dua jajaran, yaitu barat 38 dan timur 38. Setiap kaveling memiliki ukuran 800-900 meter persegi memanjang dari barat ke timur. Bagian paling selatan adalah nista mandala berupa tempat pemakaman penduduk desa. Setiap pekarangan mempunyai beberapa bangunan berupa ruang tidur, ruang tamu, dapur, balai-balai, lumbung dan tempat sembayang dalam rumah. Bangunan tradisional dengan material tiang dari kayu dan atap yang khas berupa sirap bambu. Sekitar 40% dari luas wilayahnya merupakan hutan bambu. Dari sisi ekologis, hutan bambu berfungsi vital untuk menahan erosi mengingat kondisi lahan desa yang miring. Sumber 6/16 Gambar â 5 Bendung Riam Kanan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Danau Riam Kanan adalah waduk buatan yang dirancang-bangun sejak 1962. Membendung aliran 8 sungai yang bermata air dari Pegunungan Meratus. Diresmikan oleh Presiden Suharto pada tahun 1973. Dibuat dengan menenggelamkan sekitar 9 desa di areal seluas 9730 hektar. Sumber Fakta kedua dari contoh yang telah dianggap berhasil mendayagunakan dan memelihara penataannya dengan prinsip dasar desain lingkungan-binaan. Serupa dengan fakta pertama, ada perkara yang harus dipegang teguh, yaitu sikap budaya masyarakatnya yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kultural, tidak mudah tergiur dengan produk kemajuan teknologi. Pemanfaatan potensi sumber daya alam diperlakukan dengan sangat arif bijaksana, sesuai dengan kebutuhan dasar kehidupan masyarakatnya. Perbedaan antara kedua contoh faktual tersebut adalah, secara fisik, desain lingkungan-binaan fakta pertama ditata dengan kombinasi pola organik dan geometrik; sedangkan fakta kedua diatur dengan kejelasan pola geometrik yang disesuaikan dengan potensi geografis alamnya. Fenomena faktual tersebut, tentu masih banyak tersebar di kepulauan Nusantara ini, yang sejak sekitar abad XV tetap lestari sampai saat ini di awal abad XXI dalam memelihara keseimbangan ketiga aspek sebagai prinsip dasar desain lingkungan-binaan. Ciri yang sangat mendasar dari kelestarian ini adalah bahwa masyarakat yang menempatinya âdiikatâ dalam pola budaya yang âhomogenâ, bila ditinjau dari faktor etnisitas, pandangan-hidup, spiritualitas atau agamanya. Oleh karena itu, setelah dipandu mengenai eksistensi âtradisi-lokalâ dalam lingkup âmodernitas-globalâ, seringkali dan hampir di setiap pedesaan tradisional, telah dikembangkan menjadi laboratorium sosial-budaya dan laboratorium tata-ruang morfologis, atau lebih dikenal sebagai âdesa-wisataâ. Tentu saja, pemerintah juga memberikan bantuan dari berbagai sektor kebutuhan demi kesejahteraan kehidupan masyarakatnya. Kondisi lingkungan-binaan tersebut diatas,sangat pantas dijadikan acuan dalam penataan ruang perkotaan untuk situasi masyarakat yang ditandai dengan keragaman atau âheterogenitasâ latar belakang kehidupan warganya. Perkara yang harus dicermati adalah, model pendekatan pola kehidupan sosial-budaya, melalui strategi desain9 âkeserupaan benang-merahâ yang dapat diterima semua pihak âstakeholdersâ. DESAIN LINGKUNGAN-BINAAN PADA ABAD XX-AN Di kepulauan Nusantara diartikan sebagai ânusa-antaraâ, pada sekitar abad XIII-XV yang lebih dikenal dengan nama Indonesia sebagai suatu negara kesatuan yang berdaulat sejak tahun 1945, ditandai dengan 3 tiga model disain lingkungan-binaan. Ketiga model penataan itu diawali dengan yang disebut sebagai 1 pedesaan tradisional dengan basis agrokultur, 2 lingkungan-binaan dengan basis pusat kerajaan, dan 3 perkotaan âbentengâ dengan basis penjajahan/koloni Hindia-Belanda sejak abad XVII. Perkembangan fisik masing-masing model selanjutnya tidak setara, karena sangat tergantung geo-politik yang terjadi pada saat itu. Pedesaan tradisional perkembangannya memang tidak sepesat lingkungan perkotaan, karena didominasi oleh adanya pengaruh âiramaâ alam dan karakteristik normatif kultural yang tidak serta merta mudah menerima perkembangan cara berpikir dan bertindak teknologi. Fakta perkembangan yang dapat dikenali adalah adanya pembangunan struktur jaringan irigasi, termasuk didalamnya pembangunan 9 Barbara Faga, FASLA, Designing Public Consensus, 2006., John Wiley & Sons, Inc. â The role of the professional planners, architects, landscape architects, urban designers, and angineers engaged in a serious process of public participations does not begin with a meeting, not end with responses to the public demands. It begins professionals getting to know people in the community prior to any of the meetings. It is advanced by a few early successes that demonstrate professional wisdom. Prior to devisingrecommendations, it will require presentation of an overarching strategy, and then working to ensure that strategy is accepted by all concerned. 7/16 Gambar â 6 Pedesaan di sekitar Bendung Riam Kanan. Kesejahteraan pedesaan ini memanfaatkan dampak geografis atas pembangunan bendung untuk jaringan irigasi dan pembangkit tenaga listrik Sumber Google map beberapa waduk/bendungan yang secara fisik, menjadi titik perubahan desain lingkungan sekitarnya. Pada umumnya lingkungan pedesaan yang dijadikan pengembangan pusat jaringan irigasi berupa bendung, akan diikuti dengan peningkatan jaringan tenaga listrik atau penerangan buatan, pola pertanian air perikanan, dsb, dan pegembangan kegiatan kepariwisataan jasa maupun barang. Demikian pengembangan bagi lingkungan pedesaan secara tipologis. Pembangunan prasarana dan sarana fisik dan spasial ini dimulai sekitar tahun1960, pada awal masa Pemerintahan Republik Indonesia, dengan arahan kendali oleh Presiden pertama âfounding fathersâ, & wakilnya, Dampak dari pembangunan ini terfokus pada penataan kembali lokasi baru bagi pedesaan yang terkena proyek. Pola penataan lingkungan-binaan baru ini, biasanya dengan dilandasi kebijakan publik berupa pendayagunaan lahan yang tidak/kurang produktif atau sebagai daya upaya pengembangan pola transmigrasi. Pola desain lingkungan-binaan baru yang tipologis dengan program transmigrasi ini, sudah tentu dilandasi dengan prinsip desain âkeefektifan & efisiensiâ sebagai metoda dan proses yang didominasi pada kelayakan dan terpenuhinya kebutuhan dasar âbasic-needsâ10 untuk kehidupan keluarga pada saat itu. Secara planimetris, pola desain yang dapat disimak adalah âgeometrisâ. Apabila dikaji mendetail, polanya agak serupa desainnya dengan model desa adat wisata Penglipuran. Namun bedanya kandungan spirit kultural yang mengikat kebersamaan warganya beragam. Lingkungan-binaan yang berbasis pusat kerajaan atau âmonarkhikalâ11 tidak banyak ditemukan di Indonesia. Satu-satunya daerah setingkat provinsi, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta12, dengan kota Yogyakarta sebagai pusat pemerintahannya yang dikepalai oleh Sri Sultan Hamengku Bawono Raja/Sultan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. 10 & ed., Target Setting for Basic Needs, International Labour Organisation, Geneva office, 1982. 11 A monarchy is a country that is ruled by a monarch, and monarchy is this system or form of government.; A monarch, such as a king or queen, rules a kingdom or empire. In aconstitutional monarchy, the monarch's power is limited by a constitution. But in an absolute monarchy, the monarch has unlimited power. Monarchy is an old form of government, and the word has been around a long time. It derives from Greek monarkhiÄ, frommonarkhos "monarch." 12 Undang-undang RI tahun 2012, tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 8/16 Selain Daerah Istimewa Yogyakarta, di wilayah negara Republik Indonesia ini terdapat pula lingkungan-binaan yang berpola pada pusat âmonarkhikalâ juga yaitu Kasultanan Kasepuhan di kota Cirebon, yang terbatas pada kawasan internal di lingkup Kasultanan saja, tidak memiliki kewenangan pada wilayah perkotaannya. Mengenai perkara lingkungan-binaan dibawah kultur âmonarkhikalâ ini, sudah tentu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kultural yang terkandung didalam kehidupan kemasyarakatannya. Secara khusus dapat diformulasikan pada kesempatan lain atau pada riset yang masih sedang kami lakukan. Lingkungan-binaan yang dikenal dengan sebutan perkotaan yang berbasis pada pola âbentengâ adalah model desain kota yang dikembangkan oleh pendatang yaitu pemerintahan Hindia-Belanda. Model desain lingkungan-binaan yang âeksklusifâ ini, pada saat setelah seluruh wilayah kesatuan diproklamasikan pada tahun 1945, berada pada kewenangan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, pada kota-kota di Indonesia di awal pemerintahannya dihadapkan secara garis besar pada dua pola desain, yaitu pola tata-kota yang dibuat pada jaman kolonialisasi, dan pola tradisional yang berbasis pada âmonarkhikalâ. Kedua pola besar desain perkotaan tersebut memiliki keserupaan dan juga perbedaan. Keserupaan yang tampak adalah pada struktur penataan jaringan sirkulasinya, yaitu geometrik pada area dataran dan penataan struktur organik pada area perbukitan, atau kombinasi keduanya ketika lingkungan-binaan itu berada pada rupa lahan dengan kemiringan topografis berganti. Sementara itu didapati 3 tiga perbedaan yang menyolok âsignifikanâ, yaitu 1 Pola desain struktur lingkungan-binaan âmonarkhikalâ atau tradisi lokal selalu didapati Ruang Terbuka Publik yang berupa Alun-alun, dengan 4 empat elemen primer perkotaan, seperti Kompleks Keraton, Kompleks Perkantoran Pegawai kota, Gedung Peribadatan, dan Pasar. Pada desain lingkungan-binaan ex Hindia-Belanda tidak didapati struktur tatanan seperti itu, kalaupun ada ruang terbuka, maka hanya berfungsi sebagai taman atau lapangan olahraga dan tidak dilengkapi elemen primer tersebut. 2 Pola desain jaringan sirkulasi lingkungan tradisional, lebar jalan dibuat secukupnya dan tidak terlalu lebar, dengan perpetakan lahan yang tidak terlalu besar, kecuali fasilitas publik disekitar Alun-alun. Pola vegetasi lebih diutamakan pada halaman disetiap petak lahan privat masing-masing; sementara vegetasi di ruang publik seringkali diberi predikat simbolik di seputaran Alun-alun. Pada lingkungan Hindia-Belanda pada umumnya jaringan sirkulasi dibuat lebar-lebar, bahkan didapati ruang jalan yang disebut sebagai âboulevardâ, yang dilengkapi dengan pola elemen vegetasi sebagai fungsi peneduh di hampir semua tepian ruang jalan. Pola perpetakan lahannya juga luas +/- 1000 m2, sedangkan elemen bangunan/gedungnya berdiri tunggal yang biasanya dilengkapi bangunan samping, yang seringkali disebut âpavilionâ atau malah berdempetan satu sama lain pada fungsi pertokoan. 3 Perkembangan kedua pola besar struktur tata-ruang tersebut ditandai dengan âstagnasiâ pada lingkungan-binaan ex Hindia-Belanda dan perkembangan yang lambat pada pola lingkungan-binaan tradisional. Semua itu pada umumnya disebabkan oleh perkembangan aspek perekonomian negara dan masyarakat yang masih difokuskan pada pemenuhan akan sandang dan pangan, sedangkan perkara papan perumahan dan permukiman sebagai âphysical proppertyâ baru dirintis sekitar tahun 1970an. Kondisi keserupaan dan perbedaan tersebut yang memunculkan ragam fenomena perkembangan aktivitas disekitarnya, yang secara langsung diakibatkan adanya aglomerasi antara golongan ekonomi kuat atau golongan pengambil keputusan terhadap golongan ekonomi lemah13. Kedua golongan pertama tersebut, pada umumnya memanfaatkan bangunan/gedung es Gedung-gedung Hindia-Belanda dengan rupa arsitektur kolonial âThe Empire Style, de Stijl, es Nouveau, dsbâ, sementara golongan ketiga bertempat-tinggal di perkampungan kota, dengan rupa arsitektur seadanya. Fenomena ini berlangsung secara gradual yang secara perlahan mempengaruhi pola pemanfaatan lahan dan desain lingkungan perkotaan, dan memunculkan adanya pemanfaatan lahan publik untuk kegiatan secara âinformalâ yang dikenal sebagai para 13 McGee, The Urbanization Process in the Third World., Bell & Hyman Ltd, 1971., Revolutionary Change and the Third World City, A Theory of Urban Involution. 9/16 Gambar â 7 Pola desain lingkungan permukiman dan tipikal rupa koridor di Perumnas Denpasar, Bali Struktur Ruang Lingkungan-binaan yang berbasis pada âefisiensi & keefektifanâpemanfaatan lahan. Sumber Google Map & Google Street View 2015 Gambar â 8 Model desain lingkungan-binaan di awal abad XX. Kiri Kota Manado Kanan Gedung & Bunderan Taman Balai Kota Malang. Sumber google map. pedagang âkaki-limaâ PKL. Kawasan Pusat Kota khususnya ditandai dengan âpercampuranâ tidak terarah âchaosâ antara desain lingkungan yang ditata baik dan yang sembarangan. Sampai dengan sekitar tahun 1996/1997 situasi pembangunan perkotaan ditandai dengan kebijakan mengenai pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang dikoordinasi oleh Perumnas14, sebuah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang pengadaan tanah permukiman dan pembangunan prasarana/sarana perumahan. Dampaknya adalah perkembangan bentuk perkotaan melebar ke arah pinggiran âfringe areaâ, dengan model desain lingkungan-binaan yang berlandaskan âefisiensi & keefektifanâ pemanfaatan lahan. 14 Perusahan didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1974, diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1988, dan disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2004 tanggal 10 Mei 2004. Sejak didirikan tahun 1974, Perumnas selalu tampil dan berperan sebagai pioneer dalam penyediaan perumahan dan permukiman bagai masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Pada periode 1974-1982, Perumnas memulai misinya dalam membangun perumahan rakyat menengah kebawah beserta sarana dan prasarananya. Ribuan rumah di bangun di daerah Depok, Jakarta, Bekasi dan meluas hingga Cirebon, Semarang, Surabaya, Medan, Padang dan Makassar. Pada 1983-1991, Perumnas selain membangun rumah sederhana juga mulai merintis pembangunan rumah susun sederhana dengan tujuan mendukung program peremajaan perkotaan. Pada 1992-1998, Perumnas membangun hampir 50% dari total pembangunan rumah nasional. Melonjaknya produksi perumahan ini didorong oleh program pemerintah untuk membangun rumah sederhana RS dan rumah sangat sederhana RSS 10/16 Gambar â 9 Dua model desain lingkungan-binaan yang di rancang bangun oleh pemerintah Hindia-Belanda awal abad XX atau sekitar tahun 1918-1920 an Pola geometrik proporsional terhadap semua elemen lingkungan perkotaan, yang memberi dampak positif pada ranah pengalaman estetika perkotaan dan kejelasan prinsio arsitektur-kotanya. Gambar atas Taman Bunder Kota Malang; Gambar bawah Taman Diponegoro Kota Semarang. Sumber Google map / Google street view 2015 Beberapa contoh/model desain lingkungan-binaan pada kota kolonial dan kota tradisional di abad XX-an, dimana pola geometrik proporsional terhadap lingkungan sekitarnya, serta berskala âhumanitasâ terhadap para pejalan kaki, terlepas dari keterbatasan kemajuan teknologi saat itu. 11/16 DESAIN LINGKUNGAN-BINAAN PADA AKHIR ABAD XX DAN AWAL ABAD XXI Bagi Indonesia peralihan abad XX ke XXI ini tampaknya mendapat beberapa peristiwa yang harus dicermati secara komprehensif setelah menjalani proses bernegara dan berbangsa selama kurang lebih 70 tahun. Berbagai aspek kehidupan berbangsa mengalami cobaan yang layak dikaji ulang agar proses membangun kesatuan dan persatuan semakin membaik. Oleh karena aspek politik dan ekonomi terganggu, maka aspek fisik menerima konsekuensi logisnya. Pembangunan bidang fisik-spasial arsitektur-kota pun terpengaruh karena proses perencanaan dan desain lingkungan-binaan sangat dipengaruhi oleh baik-buruknya kebijakan dan konsensus publik yang ditetapkan oleh pemerintah yang berwenang. Namun sejak tahun 2000 telah ditetapkan beberapa produk hukum terkait dengan desain lingkungan-binaan, yaitu diantaranya adalah 1. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan. 2. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan. 3. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG 4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 5. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN. 6. Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 Tahun 2006 tentang JALAN. 7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung. 8. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. 9. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG. 10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi. 11. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. 12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. 13. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. 14. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2010 tentang Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan bagian bagian JALAN. 15. Dan lain sebagainya, yang secara substansial terkait dengan eksistensi lingkungan-binaan Produk kebijakan Pemerintah yang utama dalam kaitannya dengan desain lingkungan-binaan adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan15; yang didalamnya telah ditetapkan secara detail dan terperinci segala aspek, faktor, komponen dan elemen yang harus dipotensialkan, dalam upaya mendesain lingkungan-binaan. Selain perkara sejumlah landasan legalitas tersebut diatas, proses desain lingkungan-binaan saat in, secara âuniversalâ ada yang harus dipertimbangkan secara serius sebagai aspek sekaligus fakta utama dalam era abad XXI ini, âmumpungâ masih berada di awal abad ini, yaitu perkara keberlangsungan ekosistem atau âsustainabilityâ16. Terkait dengan prinsip 15 Pemahaman Pedoman RTBL Rencana Tata Bangunan & Lingk 16 Meaning of âsustainabilityâ in the English Dictionary ENVIRONMENT, NATURAL RESOURCES - the idea that goods and services should be produced in ways that do not use resources that cannot be replaced and that do not damage the environment the ability to continue at a particular level for a period of time. - Michiel Schwarz & Joost Elffers.,In the 20th century, our world was designed around modernist ideas and values. This could be seen in our architecture, product design, business models, urban planning, and much more. With modernism came a fascination with technology, modes of industrial production, a focus on material goods, underpinned by a particular idea of progress. But this century heralds a cultural shift. Sustainism, in our view, represents a new mind-set that, like modernism before it, will turn out to define how we see our world, what we value, and how we shape our living environment. It will become the new operating context for all of us. 12/16 âkeberlanjutan ekosistemâ ini, tokoh âsustainismâ Schwarz menyampaikan begini ââŠDesigners and architects have been among the first to see the fundamental shifts we associate with sustainism â for example, how perceptions of place have changed. The internet in particular has given a new meaning to the local almost every place in the world is globally connected, 24/7. We live in local worlds, but we are also global citizensâŠ.â Tentu bila disimak, ketetapan substansial yang tersurat maupun tersirat pada serangkaian peraturan-perundangan di negeri ini sudah secara sengaja memasukkan perkara keberlanjutan ekosistem itu, akan tetapi seringkali pada aplikasi di lapangan tidak diterapkan atau pengawasan kurang ditegakkan. Apabila seluruh warga negara negeri ini patuh terhadap ketentuan tersebut, sebagai bagian kecil dari warga dunia tentu dapat secara pro-aktif menjaga kelestarian alam semesta. Jadi benar sungguh, apa yang disampaikan Schwarz menjadi teguran keras bagi para desainer, arsitek dan perencana-perkotaan, agar mengecek kembali dokumen perencanaan maupun desainnya dapat menjamin keberlangsungan ekosistem. Perkara âsustainabilityâ ini memang menjadi dilematis dalam proses desain lingkungan, oleh karena pada saat ini semua warga dunia telah di âmanjaâkan oleh perkembangan teknologi apapun, yang akan berdampak pada âketerpaksaanâ menggunakan atau menyediakannya semata untuk memenuhi aktivitas yang disyaratkan sebagai âprofesionalitasâ. Beberapa contoh terkait dengan desain lingkungan-binaan adalah 1. Perencanaan jalan di perkotaan saat ini hampir selalu menyertakan ruang pejalan kaki yang disebut sebagai âtrotoirâ, yang posisinya selalu lebih tinggi sekitar 20 cm dari muka jalan, kemudian di bawah âtrotoirâ itu dibuat saluran air hujan. Problematiknya adalah 1 Perilaku masyarakat untuk terbiasa membersihkan saluran tidak punya, karena sudah biasa dilayani. 2 Kalaupun ada yang bertugas, maka pelaksanaan tugasnya tidak rutin dilakukan. 3 Kalau disimak dari arahan teknis membuat muka jalan harus âmelengkungâ sekitar 1% kearah tepian jalan; akan tetapi sekarang perkara teknis ini tidak ada yang memperhatikan, bahkan materialnyapun dari beton bertulangkah?, yang sifat materialnya sulit dilengkungkan. 4 Sifat beton memang tidak menyerap air, dan tidak lekang kena panas matahari,akan tetapi bila terjadi retak rambut, maka sifat kekuatan beton âruntuhâ; disamping memiliki tingkat radiasi panas lebih tinggi daripada aspal. Pertanyaan yang relevan bagi keberlangsungan ekosistem adalah, kapan lagi tepian jalan ada âbahu-jalanâ yang berupa tanah berumput, seperti saat awal abad XX dulu? 2. Bila ada ketentuan angka Koefisien Dasar Hijau = 30%, maka problematiknya rupa muka lahan seperti apa sebesar 30% tersebut, apakah murni muka tanah yang hanya ditutupi rumput ataukah mulai diberi material lain yang relatif tidak menyerap adalah, mengapa penghuni rumah menjadi âtakutâ melihat tanah berumput? Kedua contoh perkara desain ini dapat dilakukan dengan âniatâ yang tinggi untuk memelihara keberlangsungan proses alami, sebagaimana contoh di awal tulisan ini. Perkara yang dilematis tentu dapat dijawab dengan cermat, karena ternyata yang berkehidupan sungguh akarab dengan alam, justru menjadi obyek wisata, artinya hanya sebagai âtontonanâ belaka. Bagaimana ini ? Dalam menjelajahi kata kota perlu memahami beberapa kata kunci yaitu; Pertama, adalah gagasan tentang Kota. Dalam bahasa Indonesia, kata Kota bermula sebagai benteng. Daerah atau kawasan yang dilindungi dan dipertahankan, tempat kedudukan orang penting dan berkuasa, pusat pemerintahan atau kerajaan. Dari pengertian yang khusus itu kemudian berkembang dan mencakup pengertian Kota yang modern, yakni tempat kehidupan orang banyak kepadatan tinggi, di lingkungan yang terbatas dengan berbagai keahlian khusus heterogen yang bekerja sama didalam suatu hubungan organisasi tertentu. Seperti halnya dengan definisi kebudayaan, maka untuk kota pun banyak dijumpai definisinya. Para ahli belum sepakat, selain daripada kenyataan bahwa Kota itu berkitn dengan masalah pengaturan penggunaan lahan. Akhirnya Rapoport 197932-3417 berkesimpulan bahwa 17 RAPOPORT, Amos â 1979. âOn the Cultural Origins of Settlementsâ, dalam Introduction to Urban Planning, New York McGrawHill, 13/16 gagasan tentang kota tergantung pada pola budaya yang dianut atau dimiliki. Kesimpulan Rapoport ini penting karena hal itu menunjukkan bahwa pengertian kota, ternyata dapat disamaratakan begitu saja, apalagi kalau dikenakan pada masa awal peradaban manusia. Kini, oleh kemajuan teknologi-komunikasi yang memungkinkan pengumpulan data pembanding yang cukup banyak, telah dicapai keseragaman beberapa pengertian; misalnya pemahaman tentang gejala âurbanismâ. Ada kota yang lahir oleh keinginan untuk menciptakan suatu keteraturan baru yang hanya diujudkan melalui bentuk kekuasaan. Dan kekuasaan ini dapat tercipta hanya kalau ada âsurplusâ âeconomy of plentyâ, yang dimungkinkan hanya kalau ada spesialisasi, atau pembagian kerja. Pandangan seperti ini merupakan saripati teori lahirnya sebuah kota yang klasik, mengutamakan kegiatan pertanian sebagai sumbernya. Itulah sebabnya, kota-kota lahir di daerah yang subur. Kedua, adalah tentang Pusat Kota. Sejarah lahirnya kota-kota sebagai bagian dari peradaban manusia, menunjukkan akan adanya hubungan antara gagasan âpusatâ dengan kehidupan religius symbolism of âcenterâ lihat Eliade, 196927-5118. Tampaknya, gagasan ini tidak dapat dipertahankan tanpa penyertakan juga unsur-unsur alam geografi dan/atau ekologi dan juga interaksi antara manusia dengan lingkungannya sendiri. Kondisi lingkungan dan jumlah penduduk akan turut menentukan bentuk perwujudan akhir sebuah kota; mengapa candi-candi di Jawa Timur lebih langsing daripada candi di Jawa Tengah merupakan contoh akan adanya pengaruh hubungan itu OngHokHam, 1983169-18019. Pusat kota sama dengan pusat kekuasaan istana, masjid, atau kuil, tempat kedudukan orang-orang penting dan penyimpanan bahan-bahan baku yang utama pusa kota di mesopotamia selalu mempunyai tandon air yang sangat besar. Dari titik itu memancar garis-garis pengaruh yang pada hakikatnya berkehendak untuk mengatur dan mengelola demi kepentingan dan keselamatan bersama. Dari situ pula muncul kata wasiat dalam peradaban manusia administrasi! Itu pula yang mengisyaratkan penguasaan tulis-menulis untuk lahirnya sebuah kota. Dalam pustaka perancangan kota urban design yang modern, pengertian pusat kota ini telah semakin semarak dan kompleks, serbaneka. Faktor yang dikandungnya semakin beragam, kadang-kadang yang satu lebih dominan dari yang lainnya. Kadang menjadi sangat khusus Central Business District/CBD atau civic center/pusat pemerintahan, sehingga perwujudan desain kotanya-pun khusus. Ketiga adalah Alun-alun, lahan terbuka tempat berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan dan kemasyarakatan mengambil tempat; itulah pusat kota! Menurut Haryoto Kunto 1986385ff20 yang mengutip pembicaraannya dengan Van Romondt, kata alun-alun berasal dari ombak atau gelombang laut yang menggambarkan banyaknya manusia yang berkumpul di lahan terbuka itu. Alun-alun dapat juga dibandingkan dengan Agora di Yunani, atau Forum di Romawi, yakni ruang terbuka tempat warga kota berinteraksi, dari kegiatan ekonomi hingga dengan politik, atau juga terkait dengan ruang terbuka di tengah Bale Banjar kadang-kadang disertai Bale kulkul yang didirikan orang Bali. Ruang terbuka di tengah kawasan, seperti halnya dengan Alun-alun ini, merupakan âtitik nolâ untuk berorientasi, tempat awal perwujudan gagasan imago mundi, idealisasi alam raya di muka bumi. Manusia Renaisans mengabstraksikannya ke dalam diri âAkuâ ego dan yang kemudian membebaskannya dari alam benda ontologis, seperti halnya juga tugu axial mundi yang menandai dibebaskannya suatu lahan dari pengaruh kekuasaan roh jahat dan menjadikannya lahan yang aman dan absah bagi kehidupan manusia. Dari sudut ini, kebiasaan untuk menanam pohon beringin ditengahnya adalah suatu tindakan penegasan suatu pengembangan rutialistik lebih lanjut. 18 ELIADE, Mircea â 1969. Image & Symbols, Studies in Religious Symbolism,New York Sheed and Ward. 19 OngHokHam â 1983. Proses Kesenian Indonesia dari Masa ke Masa, dalam Rakyat dan Negara, Jakarta Sinar Harapan, 20 KUNTO, Haryoto â 1989. Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung Granesia 14/16 Gambar â 10 Dua model desain lingkungan-binaan perkotaan, kota berbasis tata-ruang ex Hindia-Belanda gambar atas, kota Surabaya; dan tata-ruang perkotaan berbasis âmonarchical-valuesâ, kota Yogyakarta. Perhatikan ekspresi tata massa Bangunan/Gedung yang âberkompetitifâ dalam ekspresi âmodernitasâ morphologis pada model desain kota Surabaya. Perhatikan pula citra ekspresif dari kota yang berbasis âtraditional-valuesâ pada lingkungan perkotaan kota Yogyakarta. Sumber Google map 2015 Mengakhiri tulisan ini, mari disimak gambar-gambar desain lingkungan-binaan, bukan berati yang terbaik akan tetapi biarkan menginspirasi kritis mana dan apa yang benar atau yang keliru atas fakta lingkungan ini. 15/16 Gambar â 11 Pandanga ke Taman Diponegoro Semarang dari arah utara. Perhatikan desain trotoir dan eksistensi fungsi taman publik kota. Sumber google street view 2015 Gambar â 12 Panorama lokal kota Banjarmasin, kota Ambon dan kota Manado. Panorama tipikal desain Lingkungan-binaan di awal abad XXI, berbangunan tinggi, padat, âless of natural elementsâ. Sumber Gambar â 13 Model tipikal pemanfaatan lahan yang dikendalikan melalui ketentuan rasio lahan tertutup bangunan dan lahan terbuka. Contoh ini adalah Gedung Museum di kota Medan. Sumber 16/16 Gambar â 14 Dua model Panorama desain koridor dengan determinasi geografis sungai, dipandang ke arah Gedung Balaikota Surabaya atas. Panorama Taman Balaikota Surabaya. Dapatkah model desain ini menjadi contoh desain yang mendayagunakan basis âurban-sustainabilityâ, sementara diberitakan Surabaya Raih Penghargaan ASEAN Environment Sustainable City / Mei 28, 2011 Sumber Google Street view 2015 dan SurabayaPost. Dari gambar-gambar fenomenal diatas terasa bahwa menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada desain lingkungan-binaan terhadap desain arsitektural, dapat di dekati melalui aspek spasial dan fungsional yang secara aktual eksis serta memiliki potensi baik untuk di kembangkan. Kedua aspek tersebut seolah bersaing satu sama lain, walaupun keduanya dalam kesatuan. Problematika akan muncul ketika keduanya tidak dapat didudukan secara proporsional, yang ditandai dengan kehilangan harmoni dinamika totalitas kegiatan pada area terkait. Kedudukan aspek spasial dan aspek fungsional, terhadap dinamika kegiatan lingkungan perkotaan dapat di simak dari matriks di samping ini ini. Terimakasih, Bandung 11 Februari 2016. / FX Budiwidodo Pangarso, dan rekan. ... 2 the built environment, namely the living environment formed, modified, managed, and determined by human conditions to meet their life needs. Pangarso, [8] said, the built-environment is a term for the condition of an area or area where there is already a group of people living by building a residence in the form of a building/building and its complementary infrastructure, even if it is simple. Based on some of the opinions above, it can be concluded that the built environment is formed because of the human need and ability to change the landscape to make it more effective and efficient in meeting the needs of their lives. ...Dua model desain lingkungan-binaan perkotaan, kota berbasis tata-ruang ex Hindia-Belanda gambar atas, kota Surabaya; dan tata-ruang perkotaan berbasis "monarchical-valuesKota YogyakartaDua model desain lingkungan-binaan perkotaan, kota berbasis tata-ruang ex Hindia-Belanda gambar atas, kota Surabaya; dan tata-ruang perkotaan berbasis "monarchical-values", kota yang "berkompetitif" dalam ekspresi "modernitas" morphologis pada model desain kota Surabaya. Perhatikan pula citra ekspresif dari kota yang berbasis "traditional-values" pada lingkungan perkotaan kota YogyakartaPerhatikan Ekspresi Tata Massa BangunanPerhatikan ekspresi tata massa Bangunan/Gedung yang "berkompetitif" dalam ekspresi "modernitas" morphologis pada model desain kota Surabaya. Perhatikan pula citra ekspresif dari kota yang berbasis "traditional-values" pada lingkungan perkotaan kota Yogyakarta. Sumber Google map 2015mari disimak gambar-gambar desain lingkungan-binaan, bukan berati yang terbaik akan tetapi biarkan menginspirasi kritis mana dan apa yang benar atau yang keliru atas fakta lingkungan iniMengakhiri Tulisan IniMengakhiri tulisan ini, mari disimak gambar-gambar desain lingkungan-binaan, bukan berati yang terbaik akan tetapi biarkan menginspirasi kritis mana dan apa yang benar atau yang keliru atas fakta lingkungan ini. 15/16less of natural elements". Sumber Gambar-13 Model tipikal pemanfaatan lahan yang dikendalikan melalui ketentuan rasio lahan tertutup bangunan dan lahan terbukaXxi Panorama Tipikal Desain Lingkungan-BinaanPanorama tipikal desain Lingkungan-binaan di awal abad XXI, berbangunan tinggi, padat, "less of natural elements". Sumber Gambar-13 Model tipikal pemanfaatan lahan yang dikendalikan melalui ketentuan rasio lahan tertutup bangunan dan lahan terbuka. Contoh ini adalah Gedung Museum di kota Medan. Sumber 16/16
CiriLingkungan Hidup Buatan dan Contohnya. Lingkungan hidup buatan menjadi salah satu definisi lingkungan hidup merupakan buatan manusia sehingga dalam kondisi inilah memiliki keanekaragaman hayati yang rendah. Penjelasan terkait dengan lingkungan buatan ini senidri terbentuk sebagai hasil modifikasi manusia di lingkungan alam.
Lingkunganhidup binaan adalah lingkungan hidup yang dibentuk, dimodifikasi, dikelola dan ditentukan kondisinya oleh manusia guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Lingkungan hidup alami adalah lingkungan hidup yang telah ada di alam tanpa memperoleh gangguan atau dimodifikasi oleh manusia.
XB0c1.